KEBIJAKAN FORMULASI MENGENAI PERAMPASAN ASET HASIL TINDAK PIDANA KORUPSI

Isi Artikel Utama

M Dani Fariz Amrullah D

Abstrak

Korupsi adalah masalah mendesak yang harus segera diatasi agar tercapai pertumbuhan ekonomi yang sehat, Berbagai catatan menunjukan adanya peningkatan dan pengembangan model-model korupsi yang terjadi. Pencurian aset yang dihasilkan  dari tindak pidana korupsi merupakan masalah pembangunan dalam skala terbesar yang ada. Kesulitan yang terjadi di dalam melacak hasil tindak pidana adalah karena aset yang ditemukan tidak dapat dikaitkan langsung dengan kejahatan"Bisa berubah bentuk atau wujud, nilai, atau pemilikannya". Mekanisme perampasan aset hasil tindak pidana korupsi pada saat ini didasarkan pada Pasal 18 huruf (a) Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 yang kemudian diperbaharui melalui ketentuan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (UU TIPIKOR). Sedangkan Dalam konteks upaya pengembalian aset dapat dilakukan melalui mekanisme gugatan perdata, yang diatur di dalam Pasal 32 sampai dengan Pasal 38 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 yang diperbaharui melalui Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.Diharapakan di dalam kebijakan formulasi mengenai Perampasan aset hasil tindak pidana korupsi berpedoman dan mengacu kepada sistem civil forfeiture yang digunakan dalam United Nations Convention Against Corruption ( Konvensi Perserikatan Bangsa – Bangsa melawan Korupsi) dalam mengembalikan aset hasil tindak pidana korupsi dengan memberikan kewajiban pembalikan beban pembuktian kepada tersangka                        ( tergugat ). Agar sarana gugatan perdata menjadi sarana yang sangat efektif dalam rangka mengembalikan kerugian negaraKorupsi adalah masalah mendesak yang harus segera diatasi agar tercapai pertumbuhan ekonomi yang sehat, Berbagai catatan menunjukan adanya peningkatan dan pengembangan model-model korupsi yang terjadi. Pencurian aset yang dihasilkan  dari tindak pidana korupsi merupakan masalah pembangunan dalam skala terbesar yang ada. Kesulitan yang terjadi di dalam melacak hasil tindak pidana adalah karena aset yang ditemukan tidak dapat dikaitkan langsung dengan kejahatan"Bisa berubah bentuk atau wujud, nilai, atau pemilikannya". Mekanisme perampasan aset hasil tindak pidana korupsi pada saat ini didasarkan pada Pasal 18 huruf (a) Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 yang kemudian diperbaharui melalui ketentuan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (UU TIPIKOR). Sedangkan Dalam konteks upaya pengembalian aset dapat dilakukan melalui mekanisme gugatan perdata, yang diatur di dalam Pasal 32 sampai dengan Pasal 38 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 yang diperbaharui melalui Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.Diharapakan di dalam kebijakan formulasi mengenai Perampasan aset hasil tindak pidana korupsi berpedoman dan mengacu kepada sistem civil forfeiture yang digunakan dalam United Nations Convention Against Corruption ( Konvensi Perserikatan Bangsa – Bangsa melawan Korupsi) dalam mengembalikan aset hasil tindak pidana korupsi dengan memberikan kewajiban pembalikan beban pembuktian kepada tersangka ( tergugat ). Agar sarana gugatan perdata menjadi sarana yang sangat efektif dalam rangka mengembalikan kerugian negara

Rincian Artikel

Cara Mengutip
Amrullah D, M Dani Fariz. 2022. “KEBIJAKAN FORMULASI MENGENAI PERAMPASAN ASET HASIL TINDAK PIDANA KORUPSI”. Tazir 6 (1): 38-48. https://doi.org/10.19109/tazir.v6i1.12140.
Bagian
Artikel

Cara Mengutip

Amrullah D, M Dani Fariz. 2022. “KEBIJAKAN FORMULASI MENGENAI PERAMPASAN ASET HASIL TINDAK PIDANA KORUPSI”. Tazir 6 (1): 38-48. https://doi.org/10.19109/tazir.v6i1.12140.